SELAMATAN SEDEKAH LEBARAN
Warga
Kemiren berkeyakinan di malam takbiran juga merupakan momen penting dari
serangkaian perayaan Idul Fitri tersebut. Ditiap tahunnya mereka rutin
menggelar tradisi "Selametan Sedekah Lebaran" yang
dilaksanakan dimasing-masing rumah.
Sedekahlebaran adalah selamatan kemenangan bagi masyarakat Desa Kemiren setelah
melaksanakan puasa ramadhan sebulan penuh. Tujuannya agar seluruh keluarga
diberi keselamatan saat unjung-unjung (anjangsana) atau silaturahmi di hari
Lebaran. Selain itu, kegiatan ini digelar untuk untuk mendoakan leluhur dari
warga Kemiren yang sudah meninggal.
Dalam
Selametan Lebaran ini, masyarakat Kemiren berkelompok melakukan doa bersama
dengan kerabat dan tetangga berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Mereka secara
bersama-sama mengunjungi rumah dari anggota tersebut secara bergantian. Mereka
berdoa untuk para leluhur mereka dan untuk keselamatan tuan rumah dalam
menjalankan perayaan Idul Fitri.
Uniknya,
disaat anjang sana ditiap rumah anggota. Mereka diharuskan makan hidangan yang
disediakan. Jadi jika jumlah anggotanya 20 orang, mereka akan bersantap bersama
sebanyak 20 kali juga. Tapi sebelumnya dilakukan doa agar tuan rumah selamat,
banyak rejeki dan mendapat kesehatan.
Menu Selametan
Lebaran bermacam-macam. Mulai dari makanan khas desa Kemiren hingga masakan
khas ketupat lebaran pun disajikan untuk ritual tersebut. Semuanya dilakukan
untuk melestarikan budaya adat dan tradisi yang mereka anut.
Menyantap
hidangan yang disediakan tuan rumah tentunya tidak mudah. Apalagi dalam satu
kelompok yang berjumlah sekitar 10 sampai 20 orang. Perut tidak akan muat jika setiap
kali harus makan secara penuh, maka untuk mensiasatinya, banyak tamu atau
undangan selamatan yang hanya memakan krupuk atau buah-buahan saja.
TRADISI TUMPENG SEWU
Tumpeng Sewu merupakan ritual adat
selamatan massal yang telah berlangsung turun temurun pada suku Osing di Desa
Kemiren, sebagai ungkapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang
Maha Esa yang mereka terima selama satu tahun.
Tumpeng Sewu artinya tumpeng yang jumlahnya seribu.
Disebut demikian karena biasanya setiap kepala keluarga mengeluarkan
tumpeng minimal satu. Sedangkan di desa yang berjarak sekitar 5 km dari
kota Banyuwangi itu dihuni 1.025 kepala keluarga.
Tumpeng sewu
diyakini merupakan selamatan tolak bala (menghindarkan dari segala bencana dan
sumber penyakit). “Kalau ritual itu ditinggalkan, maka akan berdampak buruk
kepada masyarakat Desa Kemiren, sehingga warga Osing menjaga tradisi itu hingga
turun temurun,” kata sesepuh adat Desa Kemiren, Juhadi Timbul.
"Tradisi tumpeng sewu juga dipercaya dapat menjauhkan warga desa dari malapetaka dan ritual itu sekaligus untuk menghormati datangnya bulan haji atau Dzulhijjah," tuturnya.
Menurut cerita rakyat setempat, selamatan tumpeng sewu tersebut berawal dari
cerita seseorang yang menjerit meminta tolong karena kesakitan dan warga yang
mendengar jeritan tersebut spontan mencari orang yang minta tolong.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah.
Warga yang menjerit tersebut adalah Mbah Ramisin yang sedang kesurupan, kemudian Mbah Ramisin mengaku bahwa dirinya adalah Buyut Cili (tetua adat Desa Kemiren) yang meminta warga desa setempat melakukan selamatan satu tahun sekali.
Dalam acara selamatan itu, warga juga berdoa agar warga Desa Kemiren dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala.
Sebelum acara selamatan digelar, warga Desa Kemiren biasanya melakukan ritual menjemur kasur secara massal pada siang hari karena dipercaya sumber penyakit berada di tempat tidur. Warga Osing beranggapan bahwa sumber penyakit datangnya dari tempat tidur, sehingga mereka menjemur kasur di halaman rumah masing-masing, agar terhindar dari segala jenis penyakit.
Ritual tumpeng sewu ini ditandai dengan kegiatan di mana setiap rumah membuat nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Osing, yakni pecel pithik (ayam panggang dicampur parutan kelapa yang sudah diberi bumbu). Makanan itu lantas ditaruh di depan rumah. Setiap pengunjung yang lewat akan diajak makan bersama secara lesehan di depan rumah.